Entah mengapa bahasaku menjadi
seperti ini, seperti bahasa novel. Mungkin karena aku baru saja membaca sebuah
novel yang bisa membuatku rela membacanya hingga pukul satu malam. Dan sial
saat aku membacanya, tiba-tiba mataku terasa panas, sehingga setetes air pun
jatuh membasahi pipi yang tidak begitu mulus ini. Lalu diikuti oleh tetesan air
yang lain. Sungguh novel yang ajaib.
Saat membaca novel itu, pikiranku
langsung tertuju padamu, wahai angin. Ya, kau bagai angin. Angin yang menyejukan
sekaligus membahayakan. Berbahaya karena, kau wahai angin, kau bisa mencuri hati
ini seenaknya, tanpa meminta izin pada pemilik hati itu. Membawanya hilang
bersama dirimu yang selalu datang dan pergi tanpa diketahui oleh siapa pun. Kau
datang tanpa ku duga. Kau membawa kesejukan, sempurna dengan oksigen. Menyentuh
pipi yang kering ini. Berbisik. Tapi itu tak lama. Dengan cepat kau menghilang
tanpa pamit. Dan tiba-tiba kau datang kembali, dengan oksigen-oksigen yang
membuatku bisa bernafas lagi. Tapi kau mengilang, lagi. Dan begitu seterusnya.
Hingga suatu saat kau benar-benar pergi. Entah karena ingin atau memang harus.
Pergi meninggalkan seseorang yang butuh akan oksigen-oksegen dan kesejukan yang
dibawa olehmu, wahai angin. Karena kau hanya angin. Pribahasa mengatakan, "sia-sia
menjaring angin , terasa ada tertangkap tidak" ; jangan mengharapkan yang bukan-bukan karena akan mengecewakan
saja.
Sekali lagi, karena kau hanya angin.